“Tetapi, bukankah Aku
pernah bersabda kepadamu untuk datang kepadaku semua yang letih lesu dan
berbeban berat, karena Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Sebab kuk yang
Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.” “ Aku tahu Engkau pasti akan
mengatakan hal itu. Tetapi kenapa bebanku begitu berat?” “Anakku, setiap orang
di dunia memiliki beban. Mungkin kau ingin mencoba salib yang lain?” “Aku bisa
melakukan hal itu?” tanyaku.
Ia menunjuk beberapa
salib yang berada di dekat kakiNya. “Kau bisa mencoba semua ini.” Semua salib
itu berukuran sama. Tetapi setiap salib tertera nama orang yang memikulnya.
“Itu punya Joan,” kataku. Joan menikah dengan seorang kaya raya. Ia tinggal di
lingkungan yang nyaman dan memiliki 3 anak perempuan yang cantik dengan pakaian
yang bagus-bagus. Kadang kala ia menyetir sendiri ke gereja dengan mobil
Cadillac suaminya kalau mobilnya rusak.
“Umm, aku coba punya
Joan.” Sepertinya hidupnya tenang-tenang saja. Seberat apa beban yang Joan
panggul? pikirku. Tuhan melepaskan bebanku dan meletakkan beban Joan di
pundakku. Aku langsung terjatuh seketika. “Lepaskan beban ini!” teriakku. “Apa
yang menyebabkan beban ini sangat berat?” “Lihat ke dalamnya.” Aku membuka
ikatan beban itu dan membukanya. Di dalamnya terdapat gambaran ibu mertua Joan,
dan ketika aku mengangkatnya, ibu mertua Joan mulai berbicara, “Joan, kau tidak
pantas untuk anakku, tidak akan pernah pantas. Ia tidak seharusnya menikah
denganmu. Kau adalah wanita yang terburuk untuk cucu-cucuku….” Aku segera
meletakkan gambaran itu dan mengangkat gambaran yang lain. Itu adalah Donna,
adik terkecil Joan. Kepala Donna dibalut sejak operasi epilepsi yang gagal itu.
Gambaran yang ketiga adalah adik laki-laki Joan.
Ia kecanduan narkoba,
telah dijatuhi hukuman karena membunuh seorang perwira polisi. “Aku tahu
sekarang mengapa bebannya sangat berat, Tuhan. Tetapi ia selalu tersenyum dan
suka menolong orang lain. Aku tidak menyadarinya…” “ Apakah kau ingin mencoba
yang lain?” tanya Tuhan dengan pelan. Aku mencoba beberapa. Beban Paula terasa
sangat berat juga: Ia memelihara 4 orang anak laki-laki tanpa suami. Debra
punya juga demikian: masa kecilnya yang dinodai oleh penganiayaan seksual dan
menikah karena paksaan. Ketika aku melihat beban Ruth, aku tidak ingin
mencobanya. Aku tahu di dalamnya ada penyakit Artritis, usia lanjut, dan
tuntutan bekerja penuh sementara suami tercintanya berada di Panti Jompo.
“Beban mereka semua
sangat berat, Tuhan” kataku. “Kembalikan bebanku.” Ketika aku mulai memasang
bebanku kembali, aku merasa bebanku lebih ringan dibandingkan yang lain. “Mari
kita lihat ke dalamnya,” Tuhan berkata. Aku menolak, menggenggam bebanku erat-erat.
“Itu bukan ide yang baik,” jawabku. “Mengapa?”
“Karena banyak sampah di dalamnya.”
“Biar Aku lihat” Suara Tuhan yang lemah lembut membuatku luluh. Aku
membuka bebanku. Ia mengambil satu buah batu bata dari dalam bebanku.”Katakan
kepadaKu mengenai hal ini.” “Tuhan,
Engkau tahu. Itu adalah uang. Aku tahu kalau kami tidak semenderita seperti
orang lain di beberapa negara atau seperti tuna wisma di sini. Tetapi kami
tidak memiliki asuransi, dan ketika anak-anak sakit, kami tidak selalu bisa
membawa mereka ke dokter. Mereka bahkan belum pernah pergi ke dokter gigi.
Dan aku sedih untuk
memberikan mereka pakaian bekas.” “AnakKu, Aku selalu memberikan kebutuhanmu….
dan semua anak-anakmu. Aku selalu memberikan mereka badan yang sehat. Aku
mengajari mereka bahwa pakaian mewah tidak membuat seorang berharga di mataKu.”
Kemudian Ia mengambil sebuah gambaran seorang anak laki-laki. “Dan yang ini?”
tanya Tuhan. “Andrew…” aku menundukkan kepala, merasa malu untuk menyebut
anakku sebagai sebuah beban. “Tetapi, Tuhan ia sangat hiperaktif. Ia tidak bisa
diam seperti yang lain, ia bahkan membuatku sangat kelelahan. Ia selalu
terluka, dan orang lain yang membalutnya berpikir akulah yang menganiayanya.
Aku berteriak kepadanya selalu. Mungkin suatu saat aku benar-benar
menyakitinya…” “AnakKu,” Tuhan berkata,
“jika kau percayakan kepadaKu, Aku akan memperbaharui kekuatanmu, dan jika
engkau mengijinkan Aku untuk mengisimu dengan Roh Kudus, aku akan memberikan
engkau kesabaran.” Kemudian Ia mengambil beberapa kerikil dari bebanku. “Ya,
Tuhan…” aku berkata sambil menarik nafas panjang. “Kerikil-kerikil itu memang
kecil. Tetapi semua itu adalah penting. Aku membenci rambutku. Rambutku tipis,
dan aku tidak bisa membuatnya kelihatan bagus.
Aku tidak mampu untuk
pergi ke salon. Aku kegemukan dan tidak bisa menjalankan diet. Aku benci semua
pakaianku. Aku benci penampilanku!” “AnakKu, orang memang melihat engkau dari
penampilan luar, tetapi Aku melihat jauh sampai ke dalamnya hatimu. Dengan Roh
Kudus, kau akan memperoleh pengendalian diri untuk menurunkan berat badanmu.
Tetapi keindahanmu tidak harus datang dari luar. Bahkan, seharusnya berasal
dari dalam hatimu, kecantikan diri yang tidak akan pernah hilang dimakan waktu.
Itulah yang berharga di mataKu.” Bebanku sekarang tampaknya lebih ringan dari
sebelumnya.
“Aku pikir aku bisa
menghadapinya sekarang,” kataku, “Yang terakhir, berikan kepadaKu batu bata
yang terakhir.” kata Tuhan. “Oh, Engkau tidak perlu mengambilnya. Aku bisa
mengatasinya.” “AnakKu, berikan kepadaKu.” Kembali suaraNya membuatku luluh. Ia
mengulurkan tanganNya, dan untuk pertama kalinya aku melihat lukaNya. “Tetapi
Tuhan, bebanku ini kotor dan mengerikan, jadi Tuhan….Bagaimana dengan tanganMu?
TanganMu penuh dengan luka!!” Aku tidak lagi memperhatikan bebanku, aku melihat
wajahNya untuk pertama kalinya. Dan pada dahiNya, kulihat luka yang sangat
dalam… tampaknya seseorang telah menekan mahkota duri terlalu dalam ke
dagingNya. “Tuhan,” aku berbisik. “Apa yang terjadi dengan Engkau?” MataNya
yang penuh kasih menyentuh kalbuku.
“AnakKu, kau tahu
itu. Berikan kepadaKu bebanmu. Itu adalah milikKu. Aku telah membelinya.”
“Bagaimana?” “Dengan darahKu” “Tetapi kenapa Tuhan?” “Karena aku telah
mencintaimu dengan cinta abadi, yang tak akan punah dengan waktu. Berikan kepadaku.”
Aku memberikan bebanku yang kotor dan mengerikan itu ke tanganNya yang terluka.
Beban itu penuh
dengan kotoran dan iblis dalam kehidupanku : kesombongan, egois, depresi yang
terus menerus menyiksaku. Kemudian Ia mengambil salibku kemudian menghempaskan
salib itu ke kolam yang berisi dengan darahNya yang kudus. Percikan yang
ditimbulkan oleh salib itu luar biasa besarnya. “Sekarang anakKu, kau harus
kembali. Aku akan bersamamu selalu. Ketika kau berada dalam masalah, panggillah
Aku dan Aku akan membantumu dan menunjukkan hal-hal yang tidak bisa kau
bayangkan sekarang.” “Ya, Tuhan, aku akan memanggilMu.” Aku mengambil kembali
bebanku. “Kau boleh meninggalkannya di sini jika engkau mau. Kau lihat
beban-beban itu? Mereka adalah kepunyaan orang-orang yang telah meninggalkannya
di kakiKu. Yaitu Joan, Paula, Debra, Ruth… Ketika kau meninggalkan bebanmu di
sini, Aku akan menggendongnya bersamamu. Ingat, kuk yang kupasang itu enak dan
bebanKu pun ringan.” Seketika aku meletakkan bebanku, cahaya itu mulai menghilang.
Namun, masih kudengar suaraNya berbisik, “Aku tidak akan meninggalkanmu, atau
melepaskanmu.” Saat itu, aku merasakan damai sekali di hatiku.
Diambil dari Kumpulan Cerita "Mutiara Hati"
No comments:
Post a Comment