Popular Posts

Sunday, May 26, 2013

There is Always Hope

Retha's FamilyRetha's Family
by Retha McPherson


Holy Spirit, thank you for being present here today.  I praise You for wanting to touch so many hearts.  Glory to God in the highest heaven!

It has been 15 months since Aldo’s accident in June last year, and I’m sitting here with a grateful heart.  You won’t believe what I'll tell you today about what I have come to realize.

Father God, thank You for allowing the accident to happen.  I know it wasn’t Your will, but You allowed this to cross our paths.  Because if it hadn’t, my eyes wouldn’t have been opened, & I wouldn’t have been where I am today.  And for that I will forever be thankful to the Lord.

About Aldo: I know the Lord is on a special journey with him.  As He is with every member of our family.  And whatever is happening in your life today, no matter what the circumstances are, remember Romans 8Everything works together for good for those that love the Lord.  

When you are in a bad situation, you don’t necessarily believe that, but I can assure you, God let’s everything work together for our good.  At the end of the day it isn’t about you and me, but about Him.  All about Him.  It’s not even about our pain, or our suffering. Yes, 
Father God, it’s all about You.  And it took me a long time to get there.  I have struggled a lot, and I want to share this journey, my testimony, with you. 

Saturday, May 25, 2013

Bagaimana Cara Mendisiplin Anak


James Dobson merupakan tokoh pendidikan anak yang terkenal dalam mengemukakan berbagai prinsip efektif bagi orangtua dalam mendisiplin anak. Buku-bukunya yang mengemukakan gagasan disiplin ini adalah Dare To Discipline (Berani Mendisiplin - 1970) dan Discipline With Love (1983). Menurut Dobson, tujuan disiplin bagi anak ialah agar mereka dapat belajar bagaimana cara hidup bertanggung jawab. Prinsip Dobson yang dituangkan dalam karyanya The New Dare to Discipline (1992) tentang cara mendisiplin anak adalah sebagai berikut:
  1. Mengembangkan rasa hormat dalam diri anak terhadap guru dan orangtuanya sendiri. Rasa hormat itu harus ditumbuhkan melalui komunikasi yang akrab, lalu dikembangkan dan dipelihara dengan menyediakan waktu untuk menjawab pertanyaan anak. Dengan begitu anak belajar mengenai otoritas secara benar dan tepat.

  2. Memberikan hukuman atas tingkah lakunya yang jelas-jelas memberontak atau menentang guru dan orangtua; melawan terhadap aturan yang sudah diterangkan dan ditetapkan atau disetujui sebelumnya. Hukuman fisik yang harus dikenakan bagi anak, pada bagian "pantat" (spanking). Guru dan orangtua harus menjelaskan mengapa ia melakukannya; dan jangan dilakukan hukuman jauh setelah anak melupakan pelanggaran yang dibuatnya. Menurut Dobson, kalau anak sudah berusia sembilan tahun tidak tepat lagi memukulnya di bagian pantat, atau mengenakan hukuman fisik pada bagian tubuh lainnya, tetapi paling-paling menekan bagian tertentu dari bahunya untuk menyadarkan dirinya bahwa ia bersalah.

  3. Mengendalikan diri agar tidak menyimpan amarah berkepanjangan. Jangan menyimpan emosi benci terhadap anak manakala menghukumnya secara fisik. Sebelum melakukan hukuman fisik orangtua harus menghitung dalam hatinya angka satu hingga sepuluh guna meredakan emosinya.

  4. Jangan berikan sogokan kepada anak, berupa benda atau hadiah, agar ia berlaku tertib. Hal ini dapat menumbuhkan akar materialisme.
Kiranya cuplikan dari artikel yang ditulis oleh Prof. Dr. B.S Sidjabat ini dapat menambah wawasan anda dan menolong anda dalam menegakkan kedisiplinan pada anak anda.

Mengenal Kedisiplinan

Disiplin Sebagai Kebutuhan Anak


Disiplin merupakan salah satu kebutuhan dasar anak, dalam rangka pembentukan dan pengembangan wataknya secara sehat. Tujuannya ialah agar anak dapat secara kreatif dan dinamis mengembangkan hidupnya di kemudian hari. Apabila orangtua mengasihi anaknya maka mereka juga harus mendisiplinkan anaknya. Apabila guru Sekolah Minggu mengasihi murid-muridnya, maka ia juga harus mendisiplinkan murid-muridnya.

Tentu saja, kasih dan disiplin harus berjalan bersama-sama secara seimbang. Dengan perkataan lain, kasih tanpa disiplin mengakibatkan munculnya rasa sentimen dan ketidakpedulian. Sebaliknya, disiplin tanpa kasih merupakan tindakan kejam (tirani).

Banyak orangtua, karena berbagai alasan termasuk kesibukan, tidak mempunyai pemahaman dan pengertian, mengabaikan kebutuhan anak dalam disiplin ini. Akibatnya suatu saat anak memberontak, sulit dikendalikan, dan akan mencari perhatian secara berlebihan. Orangtua demikian tentu akan mengalami konflik yang terus-menerus dengan anaknya, bahkan tidak jarang ada anak yang mengalami kekecewaan dan perasaan terluka. Oleh karena itulah, bahasan kita mengenai kedisiplinan ini amat perlu, karena hal ini dapat menjadi sumber masukan dalam pelayanan kita sebagai guru Sekolah Minggu, sehingga kita memiliki pemahaman yang benar mengenai kedisiplinan. Selain hal itu dapat menjadi alat refleksi bagi diri kita sendiri, sehingga kita dapat bersikap yang benar dalam mendisiplin murid-murid kita.

Dasar Teologis Disiplin

Pentingnya disiplin guru Sekolah Minggu terhadap muridnya dan orangtua terhadap anaknya, bukan hanya karena alasan sosiologis dan psikologis, tetapi juga karena pemahaman teologis. Keterangan berikut ini merupakan bentuk kedisiplinan di dalam Alkitab yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi kita semua, antara lain:

Allah Bapa senantiasa mendisiplin manusia ciptaan-Nya baik secara individual maupun secara kelompok. Cara Tuhan dalam mendisiplin umat-Nya sama dengan cara ayah dalam mendisiplin anaknya (lihat Ulangan 8:5 dan Mazmur 6:2; Mazmur 38:2-3). Tujuan Allah mendisiplin manusia adalah agar mereka taat, hormat dan takut kepada-Nya. Karena itu Tuhan memberikan pengajaran, memberikan teguran, menyatakan nasehat, dan jika perlu mengijinkan terjadinya penderitaan seperti sakit penyakit, kerugian, bahkan pembuangan ke tempat atau negeri lain. Sejarah Israel menyatakan umat Israel dari kerajaan utara terbuang selama 40 tahun ke Asyur dan umat Yehuda ke negeri Babilonia selama 70 tahun.

Dalam Perjanjian Baru, penulis kitab Ibrani menyatakan bahwa Allah mendisiplin umat-Nya agar bertaat kepada-Nya. Ia menyatakan disiplin sebagai bukti kasih-Nya (lihat Ibrani 12:5,6) meskipun pada mulanya mendatangkan dukacita (lihat Ibrani 12:10,11).

Tuhan Yesus Kristus pun menegakkan disiplin bagi murid-murid-Nya, dengan memberikan contoh, seperti dalam bagaimana menggunakan waktu, menggunakan uang, dan hidup berdoa secara tekun. Dia pun menyatakan bahwa kepentingan orang lain mesti didahulukan, sebagaimana terlihat bagaimana Yesus melayani orang yang datang kepada-Nya meskipun Ia seringkali belum sempat makan (bd. Markus 3:20-21). Bilamana murid-murid-Nya degil, seringkali Ia berterus-terang menegur mereka dengan keras (bd. Markus 8:14-21). Bilamana murid-murid ingin membalas kejahatan dengan kejahatan, Dia menyatakan sikap mengasihi dan mengalihkan perhatian mereka kepada tugas lain (bd. Lukas 9:51-56).

Yesus pun menyatakan agar murid-murid-Nya belajar hidup secara tertib dalam arti memelihara kesucian hidup agar senantiasa merasakan kehadiran Allah (bd. Matius 5:8). Bagi Yesus, orang dewasa harus mendisiplin anggota tubuhnya -- tangan, kaki, mata -- agar tidak membawa keburukan bagi orang lain terutama "menyesatkan" anak-anak di bawah asuhan mereka (Matius 18:8-10). Sebab dia sendiri melarang murid-murid mengabaikan atau meremehkan anak-anak kecil (Matius 19:13-15). Tidak jarang pula Yesus menyatakan bahwa Dia tetap mengasihi murid-murid-Nya sekalipun mereka kurang cepat menangkap ajaran Sang Guru (Yohanes 13,15).

Alkitab mengajarkan bahwa Roh Kudus datang untuk menyatakan kebenaran Ilahi bagi orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Dia hadir ke dunia untuk membuat orang insyaf akan dosa dan kejahatannya lalu berbalik kepada Sang Kebenaran yang memerdekakan yaitu Yesus Kristus (Yohanes 16:6-8,Yohanes 16:11-13). Roh Kudus juga datang membuat orang memiliki hikmat hidup dan kekuatan batiniah agar dapat hidup sesuai kehendak Allah. (Efesus 1:16,17; Efesus 3:16-18). Roh Kudus pun datang ke dalam hidup dan persekutuan orang-orang percaya guna memberikan kekuatan di dalam mengatasi kelemahan (Roma 8:2-6) serta buah kehidupan (Galatia 5:22-23)

Dalam Kisah Para Rasul tampak sekali bagaimana sikap dan tindakan Roh Kudus dalam menegakkan disiplin. Ingatlah kasus Ananias dan Safira karena ingin "mencari nama dan muka" lalu berdusta kepada rasul Petrus (Kisah 5). Ingat pula kasus Simon tukang sihir di Samaria yang ingin terkenal lalu hendak membeli kuasa Roh Kudus dengan uang (Kisah 8). Roh Kudus tidak menginginkan sikap pura-pura terjadi dalam kehidupan anak-anak Tuhan.

Surat Paulus kepada jemaat di Korintus cukup banyak menyinggung masalah disiplin hidup, agar mereka tertib dalam kehidupan bersama, kehidupan persekutuan, kehidupan memelihara tubuh dan sejenisnya. Dia mengajak jemaat untuk terus sadar bahwa Roh Kudus mendiami mereka sehingga mereka menghindarkan diri dari segala godaan mencemarkan diri (1 Korintus 3:16; 1 Korintus 6:19-20). Mereka harus menertibkan cara berpikir mereka sendiri agar tetap memelihara suara hati yang jernih di dalam mengambil keputusan dalam hidup kebersamaan dengan orang lain (1 Korintus 8:1-3). Mereka harus mengendalikan diri dalam ibadah agar tidak menonjolkan diri, mencari kemuliaan diri sendiri sehingga firman Allah tidak diberitakan sebagai mana mestinya (1 Korintus 12-14). 

Dari keterangan tersebut kita dapat mengetahui bahwa Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus selalu menegakkan kedisiplinan kepada umatnya, agar umatnya memiliki sikap dan pemahaman yang benar di dalam hidupnya sebagai anak-anak Allah serta taat kepada Tuhan Allah.

Mengajar Anak untuk Mengasihi Keluarga

Seorang anak akan mengasihi keluarganya jika dalam keluarga tersebut, ia mendapatkan ketenangan, penghargaan, dan kasih sayang. Hal ini merupakan tugas penting dari orangtua. Jika seorang anak dapat mengasihi keluarganya, kapan pun dan di mana pun dia akan merasakan bahwa keluarganya adalah tempat teraman bagi dia. Apa saja yang dapat dilakukan orangtua agar seorang anak dapat mengasihi keluarganya?

KASIH TANPA SYARAT
Kasih tanpa syarat berkata, "Apa pun yang kamu lakukan, tidak ada yang sanggup membuat aku berhenti mengasihimu."

Maukah Anda mengasihi anak Anda tanpa syarat? Itu berarti kasih Anda tidak tergantung pada apa yang mereka lakukan. Kasih Anda kepada anak Anda tidak lenyap hanya karena Anda marah terhadap kelakuan atau sikap mereka.

Kasih dengan syarat adalah kasih yang menguasai dan memanipulasi. "Aku mengasihimu bila ...." Kasih Allah (Agape) berkata, "Aku selalu mengasihimu."

Kasih yang tanpa syarat mengusahakan yang terbaik bagi si anak. Kasih itu tidak egois, tidak mengharapkan balasan. Bila kita mengasihi untuk memperoleh balasan berupa sesuatu berarti kita sedang memanipulasi dan mencoba menguasai anak.

Kasih tanpa syarat itu sabar. Kasih ini menyediakan waktu kapan pun untuk merangkul seorang anak. Kasih ini mempercayai anak dan potensi Allah di dalam anak. Kasih yang tanpa syarat tidak pernah menyerah atau berhenti.

Kasih yang tanpa syarat, bersukacita bila seorang anak sukses dan membesarkan hati si anak bila ia jatuh atau melakukan kesalahan. Kasih menolak untuk percaya bahwa kesalahan membuat seorang anak gagal.

Kasih yang tanpa syarat tidak mudah marah dan tidak menimbulkan kemarahan dalam diri anak-anak. Kasih ini tidak terlalu sensitif dan tidak bereaksi secara berlebihan. Kasih yang tanpa syarat bersukacita dalam kebenaran dan menyampaikan kebenaran pada seorang anak.

Kasih yang tanpa syarat bersukacita dalam kebenaran dan menyampaikan kebenaran pada seorang anak. Kasih yang tanpa syarat menanggung kesukaran, penolakan, kepedihan, dan keputusasaan. Apa pun yang dilakukan seorang anak kepada orangtuanya, si orangtua tetap mengasihi dan membesarkan hati anaknya.

Maukah Anda berkata kepada anak Anda, "Apa pun yang kamu lakukan tidak ada yang sanggup membuat ayah dan ibu berhenti mengasihimu!"

Kasih tanpa syarat yang Anda berikan pada anak Anda akan menumbuhsuburkan perasaan kasihnya kepada keluarganya.

KENALILAH BAHASA KASIH ANAK ANDA
Gary Chapman menulis sebuah buku yang bagus mengenai lima bahasa kasih. Pelajarilah bahasa kasih anak Anda yang ekspresif dan reseptif. Bahasa kasih yang ekspresif kita gunakan untuk menunjukkan kasih kepada orang lain. Bahasa kasih yang reseptif kita gunakan untuk menerima kasih dari orang lain. Inilah kelima bahasa kasih itu:


  • Waktu yang berkualitas.
        Di sini Anda menghabiskan waktu yang berarti dan cukup bersama anak Anda.

  • Memberikan hadiah.
        Hadiah apa pun bentuknya adalah ekspresi kasih.

  • Tindakan yang melayani. 
        Ini adalah tindakan yang dibutuhkan orang lain dan tidak perlu meminta untuk menerimanya.

  • Kata-kata yang meneguhkan. 
        Ekspresi kasih yang manis, membangun, dan membesarkan hati dibutuhkan setiap hari.

  • Sentuhan fisik. 
       Ini bisa berupa apa pun juga, dari berguling-guling di lantai dan main adu gulat bersama anak  Anda, hingga merangkul, mencium, dan menepuk dengan penuh kasih.


  • Ambillah waktu untuk mempelajari bahasa kasih yang lebih disukai anak Anda untuk mengekspresikan kasih dan bahasa kasih yang ingin mereka terima. Meskipun kita bisa jadi menyukai semua ekspresi kasih, biasanya kita lebih menyukai satu atau dua bahasa kasih di atas lainnya.

    Bila kasih Anda adalah memberikan hadiah, namun anak Anda lebih suka menerima kasih dalam bentuk waktu yang berkualitas, Anda dapat memberikan semua hadiah yang ada di dunia ini pada mereka dan mereka tetap tidak akan merasakan kasih.

    Duduklah dan bicarakanlah daftar ini dengan anak-anak Anda. Biarkanlah mereka memberitahukan bahasa kasih mereka kepada Anda dan Anda memberitahukan bahasa kasih yang Anda sukai.

    Semua nilai kasih yang Anda tanamkan terhadap anak pasti akan menghasilkan buah yang manis dalam keluarga Anda. Anak akan merasa aman berada dalam keluarganya dan mengasihi keluarganya seperti dia juga dikasihi oleh setiap anggota keluarga.

    Diterjemahkan dari:e-BinaAnak edisi 199

    Moralitas dan Rasa Hormat

    Virginia Satir, seorang pakar terapi keluarga, mengemukakan bahwa suami-istri adalah poros keluarga. Dengan kata lain, hubungan suami-istri sangat mewarnai kondisi keluarga secara keseluruhan. Salah satu aspek kehidupan suami-istri yang berdampak langsung pada keluarga ialah kehidupan moral suami dan istri.

    Sebagai contoh, keberhasilan orang mendisiplin anak sangat terkait dengan kehidupan moral orangtuanya. Apabila anak menghormati kehidupan moral orangtua, anak juga cenderung mematuhi petuah orangtua. Sebaliknya, wibawa orangtua untuk menerapkan disiplin kepada anak mudah merosot jika anak sudah tidak menghormati kehidupan moral orangtuanya lagi.

    Konsep yang sama dapat pula diterapkan pada hubungan suami-istri. Sesungguhnya, respek terhadap pasangan sangat bertalian dengan kehidupan moral pasangan itu sendiri. Respek yang telah tererosi akan meresap masuk dan membawa pengaruh pada banyak aspek kehidupan suami-istri. Sebaliknya, respek yang terpelihara (apalagi bertambah) akan menyederhanakan dan menyelesaikan persoalan dalam pernikahan. Itu sebabnya, bagian moral merupakan elemen yang integral dalam kehidupan suam-istri, namun malangnya, acap kali luput dari perhatian kita.

    Kehidupan moral dapat dibagi dalam dua unsur: standar dan perilaku. Standar moral mencakup keyakinan tentang benar-salah dan baik-buruk sedangkan perilaku moral mengacu kepada perbuatan konkretnya sendiri. Kesamaan atau kesesuaian antara standar dan perilaku moral, saya sebut 'integritas'. Jadi, orang yang mengaku Kristen tetapi kalau marah memukuli istrinya, adalah orang yang tidak memiliki integritas. Hal yang sama bisa ditujukan kepada seorang istri yang mengaku respek terhadap suaminya namun sering melontarkan kata-kata yang menghina. Integritas adalah kekonsistenan antara apa yang diucapkan dan yang dilakukan, antara yang apa yang diyakini dan yang diperbuat.

    Hampir semua orang dapat mengemukakan apa yang dipercayainya sebagai kebaikan dan keburukan, tetapi tidak semua bisa hidup sesuai dengan standar moralnya itu. Adakalanya suami menolak "khotbah" istrinya sebab ia tidak melihat integritas pada istrinya. Mungkin suami itu berdalih, "Engkau sendiri melakukan hal yang sama!" Atau, kadang istri sukar menerima keputusan suaminya, sebab ia tahu bahwa keputusan itu, toh, akan dilangggar oleh suaminya sendiri pula.

    Hampir semua orang dapat mempunyai integritas - dengan standar moral yang rendah. Maksud saya, bukankah mudah bagi kita untuk meraih standar jika standar itu rendah. Jadi, akan ada orang yang berkata, "Saya tidak suka berpura-pura! Kalau saya main perempuan, saya pasti memberitahukan istri saya. Terserah dia mau terima atau tidak!" Standar dan perilaku moral yang rendah, betapapun menunjukkan integritas, tetap berdampak negatif terhadap pernikahan - tidak akan membuahkan respek pada diri pasangannya.

    Bila kita ingin meningkatkan kualitas hubungan nikah, tidak bisa tidak, kita mesti memelihara integritas yang tinggi. Standar moral harus sepadan dengan yang telah Tuhan tetapkan. Firman Tuhan memacu kita untuk memiliki standar yang tinggi, sebagaimana dapat kita tilik di Filipi 4:8, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu."

    Sejak kecil istri saya sudah hidup di luar negeri sebelum akhirnya menetap di Amerika Serikat. Setelah kami menikah, kami pun menancapkan akar kami di negeri Paman Sam itu. Sewaktu kami kembali ke Indonesia, 9 tahun yang lalu, ia harus meninggalkan keluarga dan kehidupannya di sana - sebuah keputusan yang tidak mudah diambil. Ia melakukannya dengan suatu keyakinan bahwa itulah yang Tuhan tuntut darinya. Dengan setia ia mendampingi saya di sini dan setiap hari saya melihatnya membaca Alkitab dan bersaat teduh dengan Tuhan. Ia jugalah yang memastikan agar anak-anak membaca Alkitab setiap hari dan memantau kehidupan rohani mereka. Apa yang muncul dalam hati saya menyaksikan semua ini? Respek!

    Apakah kami tidak lagi berselisih paham setelah melakukan semua ini? Sudah tentu masih - kadang kecil, kadang besar. Namun, respek yang telah menyerapi benak kami bekerja sebagai penawar dan penahan berkembangnya masalah. Respek tidak usah dicari dari luar sebab itu tidak akan ada. Respek bertunas dari kehidupan moral yang "mulia dan patut dipuji."



    Pdt. Dr. Paul Gunadi 
      

    Sunday, May 12, 2013

    Orang Tua Otoriter?


    Salah satu kriteria orang tua otoriter adalah seberapa banyak kita mengekang anak dan tidak membiarkan mereka memiliki ruang geraknya sendiri. Orang tua yang otoriter tidak mengijinkan anak mempunyai pendapat sendiri, memiliki minat yang berbeda, atau melakukan sesuatu yang berbeda. Saya setuju dengan pendapat bahwa orang tua harus menjadi pemimpin anak-anaknya. Namun ini tidak berarti orang tua dapat memaksakan seluruh kehendaknya. Anak memerlukan ruang untuk bergerak, agar ia terlatih untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.


    Masalahnya sekarang, kapankah kita tahu bahwa kita telah memaksakan seluruh kehendak kita, padahal yang kita maksud adalah mendidik anak agar mereka mempunyai hidup yang baik kelak? Untuk membedakan mana yang otoriter dan mana yang tidak memang dibutuhkan kepekaan ekstra dari orang tua atas dirinya sendiri. Kalau kita dapat memikirkan apa yang dipikirkan anak dan merasakan apa yang mereka rasakan setiap kali kita berkomunikasi dengan mereka, kita akan memiliki kepekaan itu. Jadi, kalau misalnya anak selalu salah, apapun yang mereka lakukan, dan hal ini membuat mereka apatis, atau sebaliknya memberontak habis-habisan, ada kemungkinan kita telah bertindak otoriter.


    Akibatnya bagi anak bila kita bersikap otoriter?

    Anak akan bertumbuh menjadi orang yang bergantung pada orang lain.

    Anak menjadi keras kepala dan sulit diatur. Ini akan terjadi pada anak yang lebih berani.

    Dalam keadaan tertentu, kita memang tidak akan sempat lagi berdebat dengan anak karena mendesaknya waktu. Dalam keadaan demikian, kita perlu mengambil tindakan yang bersifat otoriter. Saya kira pemimpin manapun tentunya pernah melakukan tindakan dan keputusan sepihak tanpa persetujuan bawahannya, yaitu terutama dalam situasi darurat. Tetapi sedapat mungkin dalam kebanyakan keadaan, berikan pilihan-pilihan kepada mereka, sehingga anak relatif mempunyai kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri bersama dengan konsekuensinya.

    Dapat dikatakan bahwa gaya mendidik yang otoriter kita perlukan lebih banyak pada usia-usia dini anak, dan hendaknya semakin demokratis ketika anak semakin dewasa. Seharusnya pada saat remaja, anak semakin memperoleh kebebasannya. Untuk itu, kita perlu menyelesaikan penanaman dasar moral dan kebiasaan yang baik sesaat sebelum anak memasuki usia remaja. Sehingga ketika anak remaja diberi kebebasan menentukan dirinya lebih banyak, mereka tidak mengambil tindakan yang kurang bertanggung-jawab.

    Otoriter itu didominasi oleh pemaksaan-pemaksaan orang tua kepada anak, jadi lebih banyak bertujuan memuaskan keinginan, target, ambisi, bahkan hawa nafsu orangtua sendiri. Sebaiknya orang tua dalam melakukan tindakan mendisiplin ataupun berelasi dengan anak dengan dilandaskan kasih sayang, jadi lebih banyak memikirkan kebutuhan dan kemampuan anak. Dalam hal ini orang tua lebih baik bersikap demokratis dan memberi ruang kepada perbedaan anak dengan orang tua, dan memberi ruang juga bagi anak untuk bertanya dan mencari alasan mengapa suatu hal diijinkan dan hal lain tidak diijinkan.

    Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Firman Allah yang Hidup. Dan sekarang sedikit nasihat kepada para orang tua. Jangan terus-menerus menggusari dan mencari-cari kesalahan anak-anak Saudara, sehingga membuat mereka marah dan jengkel. Tetapi didiklah mereka dengan tata tertib yang penuh kasih dan yang menyukakan hati Allah, dengan saran-saran dan nasihat-nasihat berdasarkan firman Allah.

    Diterjemahkan dari:TELAGA - Ringkasan kaset no.T123B

    Keeluarga yang takut akan Allah


    "Walaupun orang yang berdosa dan yang berbuat jahat seratus kali hidup lama, namun aku tahu, bahwa orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya."
    (Pengkotbah 8:12)

    Pengalaman Yusuf tergolong sangat luar biasa. Ia dijual kakak-kakak kandungnya sendiri. Setelah itu Yusuf harus bekerja keras sebagai budak yang tidak dihargai orang di negeri asing yang jauh dari sanak keluarga. Kita sulit membayangkan bagaimana perasaan kesepian dan perasaan tertolak yang dialami Yusuf. Tatkala nasibnya sedikit membaik karena ia memperoleh kepercayaan tuannya, Potifar, ia harus mengalami tekanan karena godaan istri Potifar.

    Alkitab mengisahkan bahwa istri Potifar membujuk Yusuf dari hari ke hari untuk tidur bersamanya, tetapi Yusuf tidak jatuh. Penolakan tegas Yusuf terhadap dosa didasarkan pada prinsip yang dinyatakannya secara indah; "Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?" (Kejadian 39:9b)

    Sebenarnya banyak sekali alasan yang pantas dikemukakan Yusuf untuk tidur dengan istri Potifar. Bukankah Yusuf adalah budak dan wajib memenuhi semua keinginan tuan dan istri tuannya? Lagi pula bukan Yusuf yang memulainya. Istri Potifarlah yang merayu Yusuf dan hal itu berlangsung lama. Bila saja Yusuf bersedia melakukan apa yang diinginkan istri tuannya itu, kenaikan jenjang karir sudah menanti. Bukankah Allah (tampaknya) tidak melindungi Yusuf sehingga wajar sekali bila Yusuf meniti karir dengan caranya sendiri. Bukankah tidak akan ada seorang pun yang tahu perbuatan mereka? Tetapi Yusuf tidak melakukan dosa karena ia takut akan Allah.

    Orang Tua sebagai Duta Allah bagi Anak

    Banyak orangtua bertanya; "Kapankah waktu yang tepat untuk memperkenalkan Allah kepada anak?" Seringkali orangtua bertanya demikian karena beranggapan bahwa anak masih terlalu kecil untuk dapat mengenal Allah yang abstrak dan tidak terlihat.

    Alkitab tidak pernah memberitahukan kepada kita secara terinci pada usia berapa anak harus diperkenalkan tentang Allah. Meskipun demikian, Alkitab berkali-kali mengingatkan orangtua untuk mengajarkan Firman Tuhan kepada anak-anak.

    Lalu, bagaimanakah kita memperkenalkan Allah dalam kehidupan anak-anak kita? Kita dapat mempelajari beberapa cara yang Tuhan sendiri pakai untuk memperkenalkan DiriNya kepada umat Israel. Dengan mengetahui cara Tuhan memperkenalkan DiriNya, kita akan menemukan pengertian mengenai bagaimana memperkenalkan Tuhan pada anak-anak kita.


    Satu : Tuhan memakai peraturan untuk memperkenalkan sifat kekudusanNya 
      
    Dari sekian banyak pohon yang buahnya boleh dimakan oleh Adam dan Hawa, ada satu pohon yang tidak boleh dimakan buahnya. Mengapa demikian? Apakah karena buah itu begitu istimewa, atau apakah buah itu mempunyai khasiat yang dapat membuat manusia menyaingi Allah? Tidak demikian! Alasannya adalah karena peraturan mengenai pohon tersebut dapat membuat manusia mengenal arti ketaatan dan arti kekudusan Allah. 
      
    Tuhan banyak memberikan peraturan kepada manusia, juga kepada Musa, supaya manusia mengenal sifat Allah yang kudus. Kita pun perlu memperkenalkan peraturan kepada anak-anak kita. Sejak kecil mereka perlu diperkenalkan dengan peraturan keluarga. Misalnya: boleh menonton TV pada waktu-waktu tertentu dengan siaran-siaran tertentu, sehabis bermain harus merapikan mainan, hari Minggu harus ke gereja, dan lain-lain. Selain untuk membentuk pola kehidupan keluarga yang baik, peraturan itu diberikan dengan tujuan untuk memperkenalkan sifat kekudusan dan otorita Allah. 
      
    Suatu hari saya mengajarkan suatu semboyan hidup kepada anak saya, yakni: TAAT ITU INDAH. Ketika itu saya menyuruhnya tidur siang. Setelah bersusah-payah, akhirnya berhasil juga saya membujuknya tidur siang. Atas ketaatannya untuk tidur siang, saya perbolehkan dia tidur sedikit lebih malam. Kebetulan malam itu ayahnya pulang dari luar negeri dengan membawa mainan. Nah, dengan begitu dia bisa mempunyai sedikit waktu untuk bermain dengan mainan barunya. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk mengingatkannya tentang semboyan hidup: TAAT ITU INDAH. Kalau saja ia tidak taat di siang hari, tentu ia tidak menikmati waktu-waktu bermain dengan ayahnya di malam hari. 
      
    Demikianlah anak yang kecil dapat belajar mengenai konsep "persekutuan di dalam ketaatan" dan "perseteruan di dalam ketidak taaatan atau dosa". Hal ini merupakan konsep dasar dari kekudusan Allah.



    Saturday, May 11, 2013

    Menjadi Seorang Ayah

    Di dalam buku Father Powers dengan pengarang Henry Biller dan Dennis Meredith diobservasi bahwa bahaya terbesar saat ini bagi suatu Keluarga adalah para AYAH tidak merasa penting untuk mengambil peran sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya seperti yang dilakukan para ayah di tempo dulu. 

    Sementara itu, masyarakat pada umumnya juga mempunyai pandangan mengerti akan tugas dari seorang ayah ditengah keluarga. Masyarakat lebih menghargai seorang ayah sebagai pengusaha atau pekerja yang sukses dan kaya walaupun dia mungkin adalah seorang ayah yang gagal total dalam mendidik anaknya. Keikut sertaan sang ayah lebih "optional" dibanding ibu dalam pendidikan iman anak. 

    Apakah alasan-alasan para ayah enggan berperan dalam membesarkan anak dalam keluarga?
    1. Malas
    2. Egois/ mementingkan diri sendiri
    3. Kurang sabar
    4. Merasa kurang mampu/ tidak ada waktu
    5. Berpikir ibu cukup dalam mendidik anak

    BEING PRESENT 
    Kehadiran ayah dalam kehidupan anak, ternyata punya makna yang besar sekali. Hal ini karena ayah mengambil peran yang berbeda dengan ibu dalam kehidupan anak: 
    1. Kasih ibu bersifat tidak bersyarat sedangkan Cinta Ayah lebih bersifat kualitatif dan melekat pada performance anak
    2. Ibu kuatir tentang bagaimana bayinya bisa bertahan hidup sedangkan Ayah berpikir bagaimana anaknya dapat menghadapi masa depan 
    3. Ibu men-disiplin anak-anak waktu demi waktu sedangkan Ayah mendisplin anak dengan peraturan
    4. Dari ibu, anak belajar segi emosinya sedangkan dari Ayah, anak belajar untuk hidup ditengah masyarakat
    5. Ibu memberitahukan anak-anak untuk hati-hati ini dan itu didalam bermain sedangkan Ayah justru mendorong anak untuk berani mencoba sesuatu yang baru. 

    Jadi, dari keberbedaan kualitatif antara apa yang dilakukan ibu dan ayah terhadap anaknya tersebutdi atas, menunjukkan betapa pentingnya kehadiran ayah di tengah-tengah anaknya. Buku "Five Key Habits of Smart Dads" menunjukkan research yang dilakukan terhadap anak-anak yang dibesarkan tanpa adanya peran ayah ditengah kehidupannya cenderung mempunyai beberapa kekurangan psikologis berupa: 
    1. Kepercayaan diri sendiri yang rendah
    2. Tidak mempunyai kepedulian sosial yang baik
    3. Sulit untuk menyesuaikan diri untuk keadaan tertentu
    4. Resiko yang lebih tinggi untuk perkembangan masalah physho-sexual.

    Sekarang, mari kita lihat lingkungan kita saat ini di Indonesia. Kita krisis peran ayah! Anak-anak kita banyak yang kehilangan Ayah, walaupun ayahnya masih hidup dan berada di tengah keluarga mereka! Kenapa? Karena kita para ayah enggan mengambil peran yang aktif sebagai ayah yang ikut campur di tengah kehidupan anak kita.

    Firman Tuhan mengatakan: Dimana hartamu berada, disitu juga hatimu berada (Mat 6:21). Apabila kita menganggap KARIR, NAMA BAIK, KEKAYAAN adalah hal yang terpenting dalam hidup kita, maka kita akan menaruh perhatian dan seluruh waktu kita untuk pekerjaan semata-mata. Akan tetapi, ketika kita berpandangan bahwa yang terpenting adalah menjadi ayah dari anak-anak kita, maka kita akan menyediakan waktu dan kesempatan untuk bersama-sama anak kita, MENDIDIK DAN MENGASIHINYA. NEVER TOO LATE TO START! Tidak ada kata terlambat dalam memulai untuk aktif menjadi AYAH bagi anak-anak kita!

    Kalau Salah Mendidik Anak


    Kalau kita membuat kue bolu, dalam waktu satu jam lebih kita sudah tahu kue bolu kita berhasil atau gagal. Kalau rasanya pahit atau kuenya tidak naik, kita tahu bahwa kita sudah mengalami kegagalan. Bagaimana dalam pendidikan anak? Apa kriteria berhasil? Apa kriteria gagal?

    Dalam membicarakan masalah remaja, kita mengenal istilah "peer-group" dan "peer-presure". Suatu tekanan yang tidak kelihatan, tetapi nyata. "Peer presure" merupakan tekanan yang memaksa seseorang untuk berbuat sesuai dengan teman-teman sebaya dan lingkungan sekelilingnya. Tekanan ini bisa dalam hal prestasi di sekolah, gelar yang sama tingginya, penghasilan yang sama banyaknya, hidup yang sama majunya, pakaian yang sama mutunya, pengetahuan yang sama dalamnya. Kadang-kadang hal ini bisa positif mendorong untuk bertindak yang baik, tetapi seringkali lebih banyak nilai negatifnya.

    Orang tua Kristen juga mengalami "peer pressure" ini, sama seperti remaja. Tekanan tersebut adalah: "mempunyai anak Kristen yang sempurna." Suatu pandangan yang diterima secara luas bahwa kalau anda tidak dapat mendidik anak menjadi anak yang sehat secara emosi, penuh semangat pelayanan, tahu menghargai nilai seni yang tinggi, maka anda telah gagal sebagai orang tua Kristen.

    Karena itu orang tua bersedia mengorbankan segalanya, bahkan hubungan dengan pasangan dan pertumbuhan rohani diri sendiri untuk pendidikan anak-anaknya. Dalam Efesus 5 dan 6 kita melihat orang Kristen harus hidup beribadah kepada Tuhan, harus makin menjadi serupa dengan Kristus, harus dewasa dalam karakter Kristiani, harus setia dalam kehidupan dan kesaksian, dan akhirnya harus melaksanakan kehidupan keluarga dan mendidik anak dalam ajaran serta nasehat Tuhan. 

    Kita mengasihi anak-anak kita dan mau memberikan yang terbaik bagi mereka baik dalam pembentukan kepribadian maupun kerohanian mereka. Tetapi kalau kita menempatkan mereka sebagai nomor satu, begaimanapun mulianya motivasi kita, kita kurang menghargai Tuhan dan menimbulkan persoalan bagi kita dan bagi anak-anak. 

    Karena itu, "membuat anak Kristen yang sempurna" atau menciptakan orang suci kecil, bukanlah tujuan kita. Kedewasaan Kristen membutuhkan pergumulan dan pertumbuhan. Akan ada masa-masa di mana anak-anak bersikap seperti orang yang belum pernah diajar. Kadang-kadang mereka begitu sulit, menyebalkan dan menyusahkan. Itu adalah bagian dari pertumbuhan. Mengharapkan kesempurnaan hanya menimbulkan ketakutan dan rasa bersalah pada orang tua. Anak-anakpun akan mengalami ketakutan serta tekanan/stress yang tidak perlu. 

    Mungkinkah kita berusaha mendidik anak kita menjadi anak Kristen yang sempurna bukan untuk kepentingan anak itu sendiri tetapi untuk kebanggaan orang tua? Mungkinkah kita mendidik mereka baik-baik untuk mendapat balasan kasih dari mereka? Mungkinkah kita curahkan seluruh perhatian kita karena kita lebih haus akan cinta kasih mereka daripada cinta kasih Allah? Dikasihi anak-anak adalah sukacita yang paling dalam di kehidupan ini. Semua orang tua menginginkannya. Tetapi menempatkannya di atas kasih Allah adalah kesalahan prioritas. 

    Marilah kita mengasihi anak-anak kita dengan sepenuh hati kita. Itu adalah hak mereka. Mereka tak perlu mencapai standard tertentu untuk kita kasihi.

    Kita harus terus mengingat untuk tidak menuntut mereka berlebihan. Jangan menenkan mereka untuk menjadi "anak Kristen yang sempurna ". Seperti juga kita, mereka adalah manusia yang berdoa. Biarlah kasih kita kepada anak-anak dicurahkan dengan penuh disiplin, menyeluruh dan bebas. Berilah anak-anak anda dasar yang kuat untuk kehidupan Kristen yang utuh, dampingi dalam jatuh bangun dan pergumulannya sebagai realitas kehidupan. Biarlah mereka ikut mengalami pergumulan jatuh bangun kehidupan rohani orang tuanya sebagai hal yang nyata sehingga mereka bisa bertumbuh dalam kedewasaan iman pribadi yang kokoh. Dan Biarlah mereka mengalami kebahagiaan dan kedamaian yang juga dialami oleh orang tua yang senantiasa berusaha hidup dalam Tuhan.

    Sumber: "Why Christian Kids Have Their Faith", Tim Bissed

    Friday, May 10, 2013

    Menjadi Ayah Yang Hangat


    Kesibukan kerja orang tua terbukti telah merampas waktu buat anak-anak, bisa mengakibatkan munculnya perilaku negatif. Tapi sebenarnya ada beberapa jalan untuk tetap menjaga hubungan yang harmonis antara ayah dan anak.

    Ketika Richard Nixon berhenti sebagai presiden AS pada 9 Agustus 1974, dia menyampaikan kata perpisahan pada stafnya di Gedung Putih. Dalam kata sambutannya Nixon ingat akan ayahnya. "Ayah adalah orang yang hebat," katanya.

    Kesan Nixon menggambarkan betapa sosok ayah sangatlah berarti bagi seorang anak. Apakah sang ayah sukses atau tidak di masyarakat bukanlah soal besar; ayah tetaplah pahlawan bagi anak-anaknya. Buat anak, ayah adalah kombinasi seorang pahlawan, pembimbing, penasihat, pelindung, guru, sekaligus kawan.

    Seorang teman mengisahkan, setiap hari ia bersama suaminya pergi ke kantor yang kebetulan berlokasi sama. Menjelang malam mereka baru tiba di rumah. Kedatangan pasutri ini disambut dengan suka cita oleh anak lelakinya yang berumur 11 bulan di teras rumahnya. Anehnya, kendati si ibu berada di depan, justru sang ayahlah yang lebih hangat disambut. "Anak saya baru butuh saya kalau lagi lapar atau sakit," kata ibu muda itu.

    Menjadi ayah yang "hangat" memang tidak berhenti pada saat anak lahir. Justru ketika itulah proses awal menjadi ayah yang baik dimulai. Sayangnya, hal itu tidak mudah untuk dilakukan. Apalagi di luaran tidak tersedia lembaga pendidikan khusus - lebih-lebih yang formal - untuk melatih atau mempersiapkan seorang laki-laki menjadi ortu (orang tua) yang baik. Posisi sebagai ortu biasanya diambil secara otomatis atau begitu saja. Akibatnya, sering terjadi proses pendidikan terhadap anak juga dilakukan secara otomatis, sadar atau tidak, sama seperti yang pernah diperoleh dari ortunya dulu.


    Thursday, May 9, 2013

    Peran Ayah dalam Mendidik Anak

    Peran ayah dalam pendidikan, dalam bahasa Inggris, ialah `to father`. Di dalam bahasa Inggris terdapat tiga istilah yang berhubungan dengan tugas mendidik anak, yaitu `mothering`, `fathering`, dan `parenting`. Meskipun semuanya membicarakan tentang tugas mendidik anak, namun ada keunikan masing-masing dalam konteks sumbangsih ayah dan ibu dalam mendidik anak.
    Salah satu tugas ayah kristiani ialah:
    "Kamu harus mengajarkannya (perintah Tuhan) kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun;" (Ulangan 11:19)
    Dengan jelas Tuhan menghendaki agar kita mengajarkan perintah Tuhan dengan cara membicarakannya. Apabila Anda seperti saya, mungkin Anda juga mengalami kesulitan membicarakan, apalagi mengajarkan perintah Tuhan kepada anak-anak Anda. Saya kira membicarakan dan mengajarkan bukanlah perkara yang terlalu sulit, yang terlebih sukar adalah membicarakan dan mengajarkan secara tepat dan pada waktu yang tepat sehingga dapat dicerna oleh anak kita. Ada satu peristiwa yang Tuhan berikan kepada isteri dan saya dimana kami berkesempatan mengajarkan dan membicarakan Firman Tuhan kepada salah satu anak kami. Pelajaran yang kami sampaikan berasal dari Matius 7:12 dan wahana penyampaiannya, tak lain tak bukan, bola basket.

    Saya percaya bahwa salah satu alasan mengapa Matius 7:12 mendapat julukan "Hukum Emas" (The Golden Rule) adalah karena nilai yang terkandung di dalamnya bak emas yang sangat berharga. Hukum ini mengatur relasi kita dengan sesama secara agung sekaligus praktis. Perhatikan apa yang Tuhan Yesus katakan, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." Berbahagialah orang yang mampu menerapkan Firman Tuhan. Apabila seseorang memperlakukan orang lain sama seperti ia ingin diperlakukan, ia sudah memiliki "emas" yang tak ternilai. Sebagai orang tua kami pun rindu agar anak-anak kami mempunyai "emas" yang tak ternilai itu dan Tuhan telah menyediakan sarananya.

    Suatu hari ibu guru salah seorang anak kami yang berumur hampir 9 tahun menelepon isteri saya untuk memberitahukan bahwa tadi anak kami menangis di sekolah. Menurut ibu guru tersebut, anak kami ingin bermain bola basket dengan kawan-kawannya namun mereka tidak mengizinkannya bermain dengan mereka. Ia merasa perlu memberitahukan kami sebab ia merasa prihatin melihat kesedihan anak kami yang mendalam itu. Pada sore harinya isteri saya menceritakan kepada saya perihal anak kami itu. Sebelumnya isteri saya sudah menanyakan anak kami dan ia bercerita bahwa memang benar ia menangis karena tidak diajak bermain bola basket. Reaksi alamiah kami adalah rasa iba sebab kami menyadari bahwa anak kami itu memang senang bermain basket. Penolakan teman-temannya sudah tentu mendukakan hatinya.

    Mendengar peristiwa tersebut, dengan didorong oleh rasa iba dan hasrat untuk menghiburnya, saya bergegas memanggil anak kami itu dan mengajaknya bermain bola basket di halaman rumah. Melalui permainan itulah akhirnya Tuhan menyadarkan saya akan salah satu tugas mendidik selain dari menghibur anak, yakni mengajarkan Firman Tuhan. Tuhan membukakan mata saya terhadap hal-hal tersembunyi yang jauh lebih hakiki daripada sekadar menghibur anak. Pada saat bermain itulah baru saya memahami mengapa teman-temannya enggan mengajaknya bermain. Alasannya tidak lain tidak bukan adalah ia bermain curang! Naluri keayahan saya mendorong saya bertindak sebagai pahlawan yang ingin membela anak kami, seolah-olah dengan mengajaknya bermain saya berkata, "Biar semua orang tidak mau bermain denganmu, saya akan selalu siap bermain denganmu." Namun, ternyata dia jugalah pemicu perlakuan teman-temannya.

    Pada waktu kami sedang bermain, kakaknya juga turut melempar-lempar bola ke basket. Adakalanya bola yang sedang dilemparnya bersentuhan dengan bola basket kakaknya dan ia pun dengan segera meminta mengulang ... dengan bola di tangannya lagi. Namun pada suatu ketika, bola itu bertabrakan dengan bola yang dilempar kakaknya, tetapi kebetulan saat itu, sayalah yang sedang melempar bola. Dengan serta merta ia mengambil bola dari tangan saya dan "menghukum" saya dengan cara memberinya hak untuk melempar bola ke basket dua kali. Saya berusaha menerangkannya bahwa keputusannya itu keliru namun ia tidak peduli dan malah mogok bermain. Dengan bersimpuh di tanah sambil menduduki bola itu ia bersikeras bahwa sayalah yang salah dan selayaknya menerima hukuman.

    Saya mencoba untuk menjelaskan bahwa ia telah bertindak tidak adil sebab pada waktu hal yang sama terjadi pada dirinya bukan saja ia tidak menghukum dirinya, ia malah menghadiahi dirinya. Ia tetap tidak menerima penjelasan saya dan menolak untuk mengakui ketidakkonsistenannya. Di dalam ketidakkonsistenannya itu saya jelaskan padanya bahwa jika ia tetap berbuat demikian maka tidak akan ada orang yang ingin bermain lagi dengannya dan saya tidak ingin melihat ia menjadi orang yang tidak mempunyai teman. Setelah mengatakan hal itu, saya lalu memeluknya dan ia pun mulai meneteskan air mata. Kemudian saya menanyakan kembali, dan sekarang ia siap mengakui ketidakadilannya itu. Sesudah itu saya mengajaknya bermain lagi dan ia pun bermain jujur dan adil.

    Saya berterima kasih kepada Tuhan yang tidak membiarkan saya melewati kesempatan emas yang tak ternilai itu. Betapa mudahnya bagi saya melakukan tugas keayahan saya dengan cara menghibur anak kami namun kehilangan pelajaran yang sangat berharga. Melalui peristiwa tersebut ada empat hal yang saya pelajari yang berfaedah bagi tugas keayahan:
    1. Tugas mendidik menuntut waktu.
      Sudah tentu keinginan atau kerinduan menjadi ayah yang baik adalah penting, namun tekad tersebut haruslah diwujudkan dalam bentuk waktu yang diberikan bagi anak kita. Tanpa waktu, tidak akan ada kesempatan "mengajarkan dengan cara membicarakan" pedoman hidup yang berasal dari Firman Tuhan. Jika saya tidak menyediakan waktu untuk bermain basket dengan anak kami, tidak akan ada peluang untuk menyaksikan kelakuannya dan sekaligus mengoreksi sikapnya.
    2. Tugas mendidik membutuhkan kesediaan untuk melihat kelemahan anak kita.
      Kita perlu terbuka untuk menerima kenyataan bahwa anak kita bukan saja tidak sempurna, namun akibat dosa, ia pun berpotensi merugikan orang lain. Adakalanya sulit bagi kita untuk mengakui kelemahan anak kita karena kelemahannya sedikit banyak merefleksikan kekurangan kita pula.
    3. Tugas mendidik lebih mendahulukan pendekatan kasih daripada konfrontasi.
      Kadang kita perlu memperhadapkan anak kita dengan perbuatannya secara tegas; sekali-sekali kita perlu menghukumnya. Namun yang harus lebih sering dan diutamakan adalah menegurnya dengan kasih. Makin keras saya menegurnya, makin bersikeras ia menyangkalnya. Sebaliknya, tatkala dengan lemah lembut saya menegurnya, ia pun luluh dan bersedia menerima perkataan saya.
    4. Tugas mendidik yang kristiani menuntut kita menjadi ayah yang mengenal Firman Tuhan.
      Tanpa pengenalan akan Firman Tuhan, kita tidak bisa mendidiknya seturut dengan Firman Tuhan. Hukum Emas dari Matius 7:12 sangatlah penting, tetapi masih banyak kebenaran Firman-Nya yang perlu kita sampaikan kepada anak kita.
    Penulis:Pdt. Paul Gunadi, Ph.D.
    Buku:Parakaleo IV/2 April - Juni 1997
    Penerbit:STTRI Jakarta